Ruang Sosial Media Seperti Facebook, Twitter dan Google+ Kini Semakin Menggiurkan
Ruang publik di media sosial, seperti Facebook dan Twitter,
kini menjadi lahan yang diperebutkan berbagai pihak untuk agenda
masing-masing. Ini karena media sosial diyakini bisa memperkuat impak
dari isu-isu offline–di luar jaringan elektronik.
Dosen di University of Manchester, Inggris, Yanuar Nugroho,
menyatakan hal ini dalam konferensi internasional Social Media Culture:
Political, Economic, Social, and Journalistic Challenges di Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Kamis 22
September 2011.
“Bahkan di Indonesia ada partai yang memerintahkan anggotanya untuk
membuat akun Twitter dan mulai ngetwitt,” kata Yanuar. Dia membawakan
presentasi bertema “Citizens in @ction: Social Media in the Contemporary
Civic Activism in Indonesia.
Turut menjadi pembicara utama adalah Merlyna Lim, Phd, dari Arizona
State University, Amerika; Dr Cherian George dari Nanyang Technological
University, Singapura; dan Profesor Martin Loffelholz dari Ilmenau
University of Technology, Jerman.
Menurut Yanuar, dengan sekitar 39,6 juta pengguna Internet, Indonesia
saat ini merupakan pasar nomor dua terbesar di dunia bagi Facebook
(35,2 juta) dan ketiga terbesar bagi Twitter (4,9 juta). Kian
terjangkaunya telepon seluler serta karakter kultural orang Indonesia
yang guyup dikatakan menjadi penyebab pesatnya perkembangan penggunaan
media sosial.
Dalam sebuah penelitian pada 2010, Yanuar menemukan bahwa di
Indonesia media sosial telah mulai digunakan secara terencana. Ini
positif, menurut dia, karena interaksi yang dinamis dan terencana
merupakan syarat bagi sebuah kampanye yang berhasil di media sosial.
Meski demikian, belajar dari Arab Spring, Merlyna Lim mengatakan media sosial sendirian belum cukup untuk menggerakkan massa.
Meneliti penggalangan demonstrasi di Mesir, Merlyna menyimpulkan,
untuk mengubah aktivitas online menjadi gerakan masyarakat yang
sebenarnya di jalanan, media sosial harus punya tautan pada media lama,
tradisional, besar, dan kecil. “Soalnya media sosial tidak memiliki
kekuatan memaksa,” katanya.
Menyadari kian pentingnya media sosial, menurut Profesor Loffelholz,
saat ini 70 persen perusahaan di Jerman telah memiliki departemen yang
secara khusus menangani media sosial. Meski demikian, baru sekitar 10
persen yang sudah secara serius terlibat dalam media sosial.
Secara umum para pembicara sepakat, untuk memaksimalkan peran media
sosial ke depan, dibutuhkan lebih banyak analisis atas jejaring sosial.
“Jadi konsentrasi kajiannya bukan lagi teknologi,” ujar Cherian George.